Ketika di SMA Negeri 1 Kota Tegal, saya sering mendiskusikan “pola pikir Titik Ba” dengan teman sebangku. Hasilnya dia menjadi ranking 1. Saya perlu berpindah bangku untuk kembali ranking 1.
Tauhid penting bukan sekadar untuk masuk surga, melainkan agar kita memiliki pemikiran yang utuh, kokoh dan jernih. Alhasil, prestasi kawan sebangku stabil, bahkan kemudian menjadi sarjana dan magister teknik dari ITB.
Satu di antara cikal-bakal Titik Ba adalah karya tulis di SMA: “Mengembangkan Sikap Ilmiah: Prinsip-prinsip Sains dalam Garis Besar dan Penyederhanaan”. Intinya begini. Tauhid tentu saja benar. Tapi apakah relevan, katakanlah, pada setiap langkah aljabar?
Kepercayaan saya pada sains dan pola pikir yang diajarkan pada pendidikan formal mencapai titik terendah menginjak tahun terakhir di SMA. Saya benar-benar merasa “dibohongi”. Banyak kontradiksi dalam pelajaran di sekolah, selain basa-basi. Aturan, istilah, rumus, dan semacamnya benar-benar membingungkan dan tidak masuk akal.
Pening dengan kebohongan dan kedangkalan, tercatat 51 hari saya tidak hadir di kelas. Kalau tidur di kelas mungkin lebih banyak lagi.
Saya termasuk tiga besar siswa paling bermasalah. Dua lainnya kemudian dikeluarkan. Hampir saja saya dikeluarkan juga, sudah dua kali orangtua diundang menghadap kepala SMA. Alhamdulillah bisa lulus SMA dengan “keterpaksaan”.
Beruntung Allahu ta’ala mempertemukan saya dengan Titik Ba. Jika tidak, mungkin saya sudah gila. Wallahu a’lam.
Oleh karena itu, senang sekali apabila saya dapat berbagi paradigma Titik Ba secara lebih terstruktur. Saya yakin banyak orang yang mengalami keresahan yang sama, hanya tidak sempat merumuskan pemikirannya dan menulis buku.
*Ahmad Thoha Faz