Ini yang sering teringat sewaktu saya menjadi penyuluh perindustrian selana 8 tahun (2010-2018). Sebuah kalimat yang sering dihubungkan dengan pemikir Inggris George Bernard Shaw: “Those who can, do; those who can’t, teach.”

Kami sering memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada pelaku bisnis, atau biasa disebut pelaku UKM (usaha kecil dan menengah). Dari aspek operasional, keuangan, personalia sampai pemasaran. Saya mengajarkan mereka tentang bisnis. Apakah itu tanda kutukan Shaw, bahwa saya tidak dapat melakukan bisnis?

Dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang, sebenarnya mengelola bimbel jauh lebih menguntungkan daripada menulis buku. Perbandingannya tidak bisa dibandingkan. Itu bukan apple to apple, melainkan apple to salak. Mengelola bimbel menghasilkan uang masuk (cash-in), menulis buku uang-keluar (cash-out). Faktanya, saya membubarkan bimbel SIE (Sekolah Ilmu Eksakta) dan lebih berfokus menuntaskan Matematika Detik. Logikanya di mana?

Sebagai sarjana yang pernah belajar OR (Operations Research) tentu keputusan tersebut berdasarkan analisis yang matang. Namun, kata hati menjadi penentu. Itu tidak mudah. Seperti dulu saya memutuskan dropout dari SMA Ihsaniyyah, 51 hari membolos di tahun terakhir di SMA Negeri 1 Tegal dan menikah sebelum lulus kuliah.

Kepada Fadly Hasan, teman kecil satu langgar, saya katakan, “Matematika Detik adalah tentang revolusi, bukan (sekadar) bisnis.” Saya juga suka pemikirannya untuk lebih berfokus pada solusi bukan pada bisnis. Ya, revolusi yang saya maksud adalah solusi, yaitu solusi revolusioner.

Obsesi yang terdengar bombastis semacam itu telah menjebak saya sendiri. Ketika merasa kalah, seringkali terbersit pikiran demikian.

Namun, dalam keheningan malam atau kejernihan perenungan, saya yakin bahwa hal itu adalah keputusan seharusnya. Saya harus konsisten dengan perjuangan berat bertahun-tahun. Yaitu merumuskan Titik Ba sebagai paradigma revolusioner dalam kehidupan dan pembelajaran.

Apakah saya harus mundur perlahan hanya karena kerikil kecil, padahal sebelumnya betapa banyak batu besar bi idznillah dapat dilalui?

Mas Tom (almarhum Utomo Dananjaya) menyadarkan situasi permainan yang sedang saya hadapi. Dengan kemarahan yang tidak dibuat-buat pendiri Universitas Paramadina itu membentak, “Level dunia, dong!” Saya menjadi tersadar bahwa gagasan revolusioner apapun mau tidak mau harus bertarung pada level dunia.

Level dunia? Ciut nyali saya mendengar kata itu. Tapi tidak ada jalan mundur. Satu-satunya jalan perintisan gagasan revolusioner adalah bertarung pada level dunia.

“Titik Ba adalah gagasan level dunia. Selalu kaitkan dengan Titik Ba. Jika tidak, gagasanmu hanya tampak sebagai gagah-gagahan.” Mas Tom membesarkan hati dan saran.

Ada beberapa senior yang menyarankan agar saya melepaskan Matematika Detik dari Titik Ba. Tentu saja maksud baik dan saran cerdas itu menyesatkan. Alasannya, mereka tidak tahu Matematika Detik dan Titik Ba.

Jelas saya lebih percaya Mas Tom yang membaca Titik Ba berulang-ulang dan kemudian menjadikannya hadiah bagi bagi banyak sahabatnya. Mas Tom juga mengikuti dari awal, bahwa saya sedang membuat detail-operasional Titik Ba.

Menerjemahkan gagasan besar hingga menjadi instrumen yang detail-operasional bukan sebuah pekerjaan yang mudah dan ternyata juga tidak murah. Di balik itu saya disadarkan pada fakta menguntungkan: saya pernah belajar di Teknik Industri ITB dan pernah menjadi penyuluh perindustrian. Dasar teori dan kepekaan pada praktik telah terasah.

Matematika Detik, yang mengusung tema “asah intuisi, kelola 2 detik pertama”, adalah fokus dan tujuan besar. Sebesar gajah! Bagaimana cara memakan gajah? Tentu saja sepotong demi sepotong. Itu artinya harus dimulai potongan konkret pertama.

ToSM (Test of Second Mathematics) adalah potongan pertama yang dimaksud. Tujuan kecil ToSM adalah memberantas gagap hitung yang terbukti sebagai wabah massal. Sebagai bagian kecil Matematika Detik, tujuan besar ToSM tentu saja mengasah intuisi.

Ternyata ToSM bukan potongan yang dapat dimakan publik dalam sekali gigit. ToSM telah diiris lagi menjadi tiga level: A1, A2 dan A3. ToSM memerlukan panduan instruktur selain SOP (standard operating procedure). ToSM memerlukan lembar kerja yang utuh dari sistematis dan terperinci: diagnosis, terapi kebiasaan dan terapi kecepatan.

Semua itu tidak dimatangkan di atas kertas. ToSM telah dan terus diujicoba sepanjang kali pertama dirumuskan. Dari sebuah MVP (minimum viable product) terus disederhanakan dan disempurnakan. Sampai kapan? Sampai publik paham kemanfaatan, yang salah satu ukurannya adalah pada kerelaan mereka untuk membayar. Itu bisnis!

Berikutnya, inovasi ToSM dianggap “selesai” apabila telah dianalisis dan disempurnakan dengan cermat melalui pendekatan manajemen ilmiah. Time study ala FW Taylor dan motion study FB Gilberth. Jika sudah tahap itu, ToSM layak menjadi kajian di Teknik Industri ITB dan menjadi acuan dunia seperti TOEFL.

Fokus pada inovasi hingga “tuntas”, tidak berarti mengabaikan pemasaran. Percuma gagasan bagus dan berguna jika tidak banyak yang kenal, suka, percaya, beli dan terus merekomendasi. Dalam hal ini Matematika Detik dan ToSM tidak begitu buruk. Sampai diundang ITB, Kemendikbud RI dan Kemenag RI tentu adalah sebuah prestasi yang layak disyukuri.

Tidak lama lagi, bismillah, inovasi yang telah tuntas hingga detail-operasional akan berpadu pada reputasi yang menasional. Sekali lagi terbayang muka Mas Tom marah, “Level dunia, dong!”

*Ahmad Thoha Faz

TENTANG REVOLUSI, BUKAN (SEKADAR) BISNIS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *