Zaman semakin online. Dunia semakin virtual. Menakjubkan. Mengejutkan.

Mungkin peristiwa ini berlangsung sekitar tahun 2004-2005. Ketika ngobrol di Jalan Ganesha 10, alamat kampus ITB, kami pernah mendiskusikan prediksi ke Aswian Editri, seorang sahabat yang sedang membuat program matriks Titik Ba. Dia memang jago pemrograman, salah satu yang terbaik di antara kami, Teknik Industri ITB angkatan 99.

Kalau tidak salah, berikut ini prediksi yang kami diskusikan. 10 atau 20 tahun ke depan, tempat kita tinggal tidak terlalu penting. Seiring perkembangan internet, meski tinggal di daerah, kita berpeluang relatif sama untuk berkiprah pada level nasional bahkan dunia. Satu-satunya yang diperlukan adalah gagasan yang solid.

Sebenarnya saya mengungkap prediksi itu karena terinspirasi Gede Prama, seorang penulis, pembicara, dan motivator. Beliau pernah menjadi CEO di dunia korporasi pada usia 38 tahun. Namun bukan itu yang paling menarik, melainkan ini: Gede Prama tinggal di tempat sepi di Bali tapi suaranya terdengar ke seluruh Indonesia. Tentu saja melalui karya-karyanya yang enak dibaca dan menginspirasi.

Sejak itu, karena saya pulang ke Tegal dan semua buku Gede Prama adalah milik teman, tidak lagi saya melahap pemikiran lulusan  Lancaster, Inggris dan Fontainebleau, Prancis itu. Di Tegal, bacaan tidak semudah di Bandung. Apalagi teman baca, terasa sangat langka.

Sejak itu pula hampir tidak ada lagi komunikasi dengan Aswin, nama akrab Aswian Editri. Secara geografis, kami memang berjauhan. Aswin di pulau Lombok, NTB. Saya di Tegal, Jawa Tengah.

Situasi berubah, pada tahun 2017, yaitu ketika tiba-tiba Aswin tertarik dengan Matematika Detik. Dia minta izin memperbanyak lembar ToSM untuk diujicobakan di satu sekolah di Selong, Lombok Timur. Berikutnya, dari pengalaman konkret di dunia nyata, Aswin lalu mengembangkan ToSM on Android. Sebuah kerja yang sistematis, mengamalkan ilmu yang telah dipelajari di Teknik Industri ITB.

Kebalikan dengan Aswin, saya agak menghindari atau menjauhi urusan teknologi informasi. Saya tidak pernah menulis program sampai tuntas. Saya lebih tertarik menulis dengan bahasa Indonesia daripada bahasa Java.

Situasi berubah, pada 2015, yaitu ketika tiba-tiba Kang Abduh mengajak saya merintis media online, yang kemudian disepakati diberi nama “Pantura Bisnis”. Kang Abduh waktu itu baru saja lengser dari jabatan pemimpin redaksi Radar Tegal. Sejak itu saya mulai suka membaca buku yang terkait internet. Bukan teknologi melainkan psikologi di balik produk teknologi informasi.

Belajar semakin dipercepat, sewaktu saya tiba-tiba ditunjuk merintis website milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang kemudian kami beri nama POTJI (Portal Tegal Jepangnya Indonesia). Bahkan saya kemudian membimbing banyak mahasiswa berkaitan dengan praktik kerja lapangan maupun skripsi. Selain dari kampus lokal juga dari ITB, UI, UNDIP dan UNNES. Semua terkait dengan teknologi informasi.

Sebenarnya senjata utama saya hanya Facebook. Saya rutin menulis tentang POTJI di Facebook. Bermula dari platform besutan Mark Zuckerberg tersebut berdatangan mahasiswa dan dosen dari sejumlah kampus.

Seorang mahasiswi Teknik Industri UNDIP yang juga alumnus SIE (Sekolah Ilmu Eksakta), yaitu Oriza Wahyu Utami, menulis skripsi terkait website. Seorang mahasiwa Ilmu Komputer UI melakukan kerja praktik di POTJI dengan merintis database yang diberi nama SI POTJI (Sistem Informasi POTJI). Itu beberapa contoh penelitian yang saya bimbing langsung.

Bagaimana pun ilmu yang pernah mengendap tidaklah benar-benar menguap. POTJI benar-benar menjadi sarana aktualisasi diri seorang sarjana teknik industri yang bekerja sebagai penyuluh perindustrian. Saya belajar banyak hal tentang ekonomi digital di sini. Saya di luar itu , saya menjadi tidak terlalu plonga-plongo ketika berdiskusi dengan Aswin untuk menyempurnakan ToSM on Android.

Harapan di Balik ToSM

Melalui ToSM on Android, saya dan Aswin berkomitmen memetakan wabah gagap hitung di seluruh Indonesia. Saat ini ToSM telah digunakan sekitar oleh 8000 pengguna dari 32 provinsi dan 330 kota/kabupaten.

Sayang sekali ada kesalahpahaman antara kami dengan Google. Entah sebab apa, terhitung mulai 25 Januari 2020, ToSM tidak lagi tersedia di Google Playstore. Saya yakin banyak yang kehilangan. Terbukti banyak netizen, hampir semua tidak saya kenal pribadi, menanyakan kepada saya.

Serangan udara sementara mengalami hambatan besar. Beruntung, kami masih memiliki harapan pada serangan darat. Buku Matematika Detik (MD) seri 2, yaitu bertema “membaca angka secepat membaca kata”, telah dinyatakan lulus penilaian oleh Kemendikbud RI. Dengan cara itu buku MD seri 2, yang antara lain berisi seluk-beluk ToSM, akan segera dicetak massal dan tersebar di seluruh Indonesia.

“Insya Allah lulus semua seri Matematika Detik dan mengubah Indonesia,” kata Eko Sujatmiko, editor Matematika Detik, pada 20 Januari 2020.

Wabah Corona Mengubah Permainan

Maret 2020, kasus Covid 19 mulai muncul di Indonesia, dimulai dari Depok, Jawa Barat. Padahal tepat pada saat yang sama dan bertempat di daerah yang sama, bersama tim PT Matematika Detik Internasional (MDI) kami berencana mengadakan pelatihan terapi gagap hitung.

Wabah Corona hanya mengubah permainan. Sama sekali menjadikan permainan menjadi lebih buruk. Wabah Corona menghentikan proses kencang saya untuk menuntaskan buku Matematika Detik (MD) seri 3, yaitu Level B. Itu tampak buruk, tapi di baliknya ada ksempatan tersembunyi. Yaitu saya menjadi lebih fokus pada pemasaran gagasan, baik Matematika Detik maupun ToSM. Bahkan termasuk juga Titik Ba.

Bulan Ramadhan 1441, 22 April sampai 20 Mei 2020, berlimpah waktu luang. Ini saat yang tepat bersedekah gagasan. Mau apa lagi? Saya membuka kuliah Titik Ba di Facebook. Temanya “Ramadhan 1441, Bulan Basmalah”. Ternyata semua itu tanpa disengaja merupakan persiapan matang untuk memulai kebiasaan baru: webinar.

Matematika Detik Official

Salah satu momentum penting, yang membuat Matematika Detik bergerak semakin kencang, adalah channel Youtube “Matematika Detik Official”. Sebenarnya Matematika Detik sudah memiliki 2 (dua) channel Youtube, yaitu “Matematika Detik PPMD (43 subscriber)” yang telah berusia 3 tahun dan “MD Institute” (5 subscriber) yang berusia 2 bulan. Sayang sekali gregetnya kurang.

Matematika Detik Official beda. Penuh determinasi. Saat ini, baru berusia 20 hari, tapi alhamdulillah telah menghimpun 534 subscriber. Saat ini sudah mengunggah 8 judul video dengan tema yang sangat terfokus. Bahkan seorang guru besar matematika dengan reputasi dunia, yaitu Profesor Hadi Susanto, menjadi paham apa itu Matematika Detik melalui salah satu video tersebut.

Apa rahasianya? Ini rahasianya. Matematika Detik Official dikelola oleh Muhammad Royhan (14 tahun), anak sulung kami. Energi, karakter dan kompetensi generasi Coronial memang beda. Royhan benar-benar sangat antusias menggarap setiap video. Selain itu, kami sangat kompak.

Channel Youtube merupakan alat pemasaran yang sangat ampuh. Matematika Detik Official menjadi semacam kelas persiapan sebelum peserta mengikuti webinar Matematika Detik. Ini sangat penting, karena peserta tidak memulai webinar dengan kepala kosong. Peserta mengikuti webinar dalam kondisi siap.

Bukan hanya webinar, channel Youtube “Matematika Detik Official” juga berpengaruh pada SIE (Sekolah Ilmu Eksakta). Sebab, bagaimana pun karena terfokus pada Matematika Detik, sebenarnya semua konten adalah iklan tersamar. Jelas video Youtube jauh lebih berpengaruh daripada brosur.

Pengaruh semakin terbukti dan kuat.

Malam kemarin kami mengadakan webinar dengan host POSI (Pelatihan Olimpiade Sains Indonesia) di Medan, Sumatera Utara, menguji-coba aplikasi Google Meet. Webinar Matematika Detik sesi 1 gelombang 2, dengan moderator Fahruroji Panjaian, direktur POSI. Insya Allah segera berlanjut dengan webinar berbayar, yaitu sesi 2 dan seri 3.

Besoknya, mulai jam 10:00 WIB webinar dengan host AKDI (Akademi Kesadaran Diri Indonesia) di Semarang, Jawa Tengah, menggunakan aplikasi Zoom. Webinar ceramah publik bertema “matematika sebagai sarana tazkiyatun nafs”, sekaligus sebagai preview webinar Matematika Detik yang nantinya terdiri dari 3 sesi.

Diteruskan dua jam kemudia adalah Sekolah Ilmu Eksakta (SIE) Online dengan peserta kelompok kecil siswa berprestasi dari Tangerang, Banten. Ini jelas tidak terbayangkan sebelumnya, ternyata SIE tidak terbatas untuk masyarakat Tegal dan sekitarnya. Dunia semakin virtual.

*Ahmad Thoha Faz

DUNIA SEMAKIN VIRTUAL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *