Matematika Detik dapat terus bertahan bahkan bertumbuh hingga sekarang salah satunya adalah karena saya tidak sendirian. Bertahan selama 14 tahun (2006-2020) berfokus total pada gagasan yang sama adalah hampir mustahil tanpa kehadiran sebuah tim. “Sulit sekali pergi dari 0 ke 1 tanpa sebuah tim,” tegas Peter Thiel dalam ZERO TO ONE (2014).

Tim tidak harus terdiri atas banyak anggota. Mengutip hasil sebuah penelitian, Adam Grant dalam ORIGINALS (2016) mengatakan bahwa “satu teman sudah sangat cukup untuk mengatasi rasa kesepian”.

Grant benar. Adanya mitra meneguhkan diri bahwa saya tidak gila. Seandainya gila pun saya tidak sendirian. Itu yang saya rasakan ketika bertemu mitra dan mentor saya: Mas Tom (almarhum Utomo Dananjaya), pendiri Universitas Paramadina. Satu tambah satu tidak sama dengan dua. Sama dengan 27 tampaknya lebih mendekati kebenaran.

Bersama Mas Tom, persahabatan dan “pekerjaan” berjalan selama sekitar 6 tahun, yaitu dari 6 Maret 2008 sampai kemudian soulmate Cak Nur itu meninggal dunia pada 22 Juli 2014. Tidak lama kemudian datang mitra lain, lebih muda tapi persis sama dengan Mas Tom dalam satu hal ini: pembaca Titik Ba.

Mengapa?

Simon Sinek dalam START WITH WHY (2009) memberi penjelasan yang tepat sasaran. “Karisma tidak ada hubungannya dengan energi; karisma datang dari kejelasan tentang MENGAPA. Ia datang dari keyakinan mutlak terhadap suatu cita-cita yang lebih besar daripada dirinya.”

Tulisan yang ditulis secara konsisten, apalagi didukung dengan tindakan yang juga konsisten, menjadikan si penulis memiliki kejelasan MENGAPA. Apalagi sebuah buku: Titik Ba dan kemudian Matematika Detik. Secara umum, gagasan yang dirangkum di dalam buku jelas lebih kuat daripada sekadar cetusan yang diunggah di media sosial.

Sinek menambahkan, “Kejelasan tujuan, isu perjuangan, atau kepercayaan itu penting, tapi yang sama pentingnya adalah orang-orang juga mendengar kita. Agar suatu MENGAPA memiliki daya untuk menggerakkan orang-orang, ia bukan hanya harus jelas melainkan juga harus dilantangkan dengan suara yang keras agar mencapai cukup banyak orang untuk menggerakkan timbangan.”

Singkatnya, ini yang disarankan Sinek: pesan yang jelas lalu dilanjutkan suara yang keras. “Tanpa pesan yang jelas, apa yang akan kita suarakan?”

Konsistensi adalah kunci. Sinek menulis, “Dengan adanya konsistensi, orang akan melihat dan mendengar, tanpa ragu sedikit pun apa yang kita percayai. Bagaimana pun kita hidup di dunia yang kasat-mata. Satu-satunya cara orang dapat mengetahui apa yang kita percayai adalah melalui apa yang kita ucapkan dan lakukan ….” Walk the talk!

Titik Ba dan kemudian Matematika Detik terbukti terus menarik bakat terbaik dari seluruh Indonesia. Aswian Editri dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jauhari Efendi dari Palembang. Sandy dari Kotabaru, Kalimantan Selatan. Bintang Alam Semesta dari Surabaya, Jawa Timur. Zulkaida Akbar dari Purwokerto, Jawa Tengah.

Bukan hanya sahabat yang lebih muda seperti terdata di atas, melainkan juga sahabat yang lebih senior. Profesor Agus Hasan Budiyanto dan Profesor Hadi Susanto, dua sosok guru besar matematika level internasional, mulai melirik gagasan kami. Lebih tepatnya Profesor Agus dari Amerika Serikat tertarik ke Titik Ba, adapun Profesor Hadi dari Uni Emirat Arab ke Matematika Detik.

Masih banyak lagi. Sebagian mulai terlibat dalam pekerjaan riset dan teknologi Matematika Detik. Sebagian besar sisanya dalam posisi mendukung. Dan, saya yakin, agar bergerak dengan sendirinya ketika ruang partisipasi yang tepat bagi mereka terbuka.

Tentu saja, seperti ditegaskan Sinek, “Mereka muncul untuk diri mereka sendiri. Itulah yang mereka percayai.” Sebagian mungkin tidak percaya gagasan yang sedang saya perjuangkan, tapi mereka percaya perjuangan yang saya lakukan.

Banyak orang tidak memahami fakta biologis demikian. Tidak semua orang bekerja dengan motivasi uang. Tentu saja uang penting, tapi bergabung berjuang untuk tujuan besar kemanusiaan adalah suatu kebanggaan dan kebahagiaan itu sendiri.

Sinek mengambil contoh sejarah penciptaan pesawat terbang. Waktu itu Wright bersaudara berlomba dengan tim yang dipimpin oleh Samuel Pierpont Langley. Anda pernah mendengar nama Langley? Dia adalah seorang profesor matematika di United States Naval Academy.

Dengan dana berlimpah dan koneksi yang luas, Langley menghimpun orang-orang terbaik dan terpandai pada zaman itu. Harian New York Times mengikutinya ke mana-mana.

“Tapi ada masalah,” tulis Sinek, “Langley memiliki tujuan yang berani, tapi tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang MENGAPA. Tujuan membangun pesawat terbang dirumuskan oleh APA yang dia lakukan dan APA yang bisa dia dapatkan.”

Wright bersaudara beda. Mereka memiliki kejelasan MENGAPA. Mereka percaya bahwa jika mereka bisa membuat pesawat terbang itu akan mengubah dunia. Mereka membayangkan manfaatnya bagi semua orang lain jika mereka sukses.

Siapa yang sukses: tim Langley yang memiliki “semua” syarat untuk sukses, ataukah tim Wright bersaudara yang bermodalkan pengetahuan dan dana seadanya? Tebakan anda pasti tepat.

*Ahmad Thoha Faz

“START WITH WHY”: BAGAIMANA MENARIK TALENTA TERBAIK?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *