Ba’da subuh, Kamal Sueb sudah datang ke SIE (Sekolah Ilmu Eksakta) tempat saya mengajar dan meneliti. Tentu saja hendak belajar ilmu eksakta: matematika, fisika, kimia. Tidak tentu, tergantung tema atau soal apa yang hendak didiskusikan.

“Naik apa Kamal?” Saya bertanya karena tidak terdengar suara mobil dan saya tahu Kamal tidak bisa naik sepeda motor.

“Naik becak, Pak.”

Saya mengenal remaja ini sejak kelas 7 SMP Negeri 7 Kota Tegal, yang saat itu berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Bersamanya, satu tim di SIE, adalah Arya Pratama dan Syaifullah Hanif.

Tapi yang kemudian lebih sering bersama adalah Kamal dan Arya. Hanif sering sendirian. Perpaduan yang unik. Sebab, karakter kedua ini cukup mencolok: Kamal sangat supel, Arya pendiam. Kesamaan keduanya: sangat cerdas. Keduanya kini tercatat sebagai mahasiswa ITB.

Namun, Kamal tertinggal tahun kuliah dibanding Arya dan Syaifullah Hanif. Arya di FMIPA ITB, Hanif di FK Unair. Sebab, Kamal tampaknya ingin melengkapi pengalamannya di dunia pendidikan. Pebasket yang sempat menjadi ketua OSIS di SMP Negeri 7 dan SMA Negeri 1 Kota Tegal ini tertarik mencicipi pendidikan di Jerman hampir selama satu tahun (2017-2018).

Sepulang dari Jerman, di kelas 12 SMA, Kamal bergabung lagi di SIE. Kali ini Kamal selalu datang membawa mobil sendiri.

“Cara yang diajarkan Pak Thoha, terutama berpikir dengan gambar, terbukti sangat ampuh. Kamal tidak lagi kecanduan rumus,” kenangnya sewaktu belajar di Jerman.

Tidak mudah menghancurkan kebiasaan untuk berpikir dengan gambar. “Gambarkan, gambarkan, gambarkan apapun yang bisa dituliskan,” saya selalu mengulang-ulang instruksi itu, ” Jika tidak bisa digambar, cobalah digambar.”

Tidak mudah, hampir selalu siswa kembali ke kebiasaan lama: kecanduan rumus. Bukan karena berpikir dengan gambar itu susah. Justru sangat mudah, karena begitulah cara alamiah otak berpikir. Namun, menjadi susah karena kebiasaan buruk yang ditanamkan di sekolah: rumus dan istilah. Betapa susahnya meyakinkan bahwa rumus dan istilah itu sebenarnya tidak ada.

Kamal adalah kisah sukses, yang mulai menyadari bahwa imajinasi lebih penting daripada pengerahuan. Karya sastra, sama seperti dongeng elektron di “ilmu gaib” kimia, berperan sama: mengasah imajinasi. Senang sekali ketika Kamal berbagi cerita tentang salah satu novel yang menjadi favoritnya: The Alchemist.

Liburan kuliah, Kamal kembali belajar di SIE. Kami mendiskusikan “Otak Bukan Kalkulator”, yaitu Matematika Detik Level B. Sayang sekali hanya beberapa hari, sebab calon pengganti Nadiem Makarim ini hendak berlibur ke negara piramida: Mesir.

Jumat, 5 Juni 2020, tiba-tiba WhatsApp dan Facebook saya ramai. Banyak sahabatmu dan adik kelasmu hendak menyampaikan kabar duka: sang ikon dan teladan pelajar Kota Tegal telah tiada. Kamu menghadap sang Kuasa setelah mengalami kecelakaan tunggal di tol Cipali. Sebagai guru dan teman diskusimu, saya kehilangan. Kehilangan yang sangat. Kehilangan yang sangat menyayat. Selamat jalan, sang teladan. Allahu ta’ala telah mencukupkan ikhtiar dan cita-cita muliamu. Semoga kini dalam kedamaian. Ridho dan diridhoi.

KAMAL SUEB, TELADAN DAN IKON PELAJAR KOTA TEGAL KINI TELAH TIADA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *