“Aku tidak paham,” kata almarhum Mas Tom (Utomo Dananjaya) setiap saya melaporkan hasil kerja keras “membumikan Titik Ba”.
Awalnya, saya tidak paham maksud “aku tidak paham”. Tapi setelah berdiskusi langsung dan membaca banyak tulisan almarhum, saya mulai bisa menebak kalimat “aku tidak paham”.Yang diharapkan pendiri Universitas Paramadina tadi adalah sesuatu yang detail dan aplikatif. Saya mulai paham, tapi untuk mewujudkan itu tidak mudah. Titik Ba adalah sesuatu yang melangit, yang telah sukses membuat banyak orang cerdas menjadi gila.
Titik Ba membuat orang melamun, melepaskan pijakannya di atas tanah. Bagaimana membuat tangga dari langit, itu tidak mudah.
10 tahun, setelah bertarung habis-habisan, atau lebih tepatnya “gila-gilaan”, baru muncul Matematika Detik. Tapi sebelum sampai pada Matematika Detik, saya mempersiapkan dulu fondasinya: Metode aRTi.
Saya bersyukur, bagaimana pun, sempat kuliah di Teknik Industri ITB. Di sana saya belajar bagaimana menemukan atau menciptakan gambaran besar, dan bagaimana mem-break down menjadi sesuatu yang kecil-kecil sehingga bisa dieksekusi.
Baca Juga : Matematika Detik Level Tegal dan Nasional
Setelah fondasi hampir selesai, mulai terbersit gagasan samar Matematika Detik. Perlu ribuan jam untuk menyatukan ribuan cetusan pikiran ke dalam satu gagasan yang solid. Dan, setelah kelelahan demi kelelahan, keputus-asaan berulang dan terus dibatalkan, tiba-tiba kesederhanaan pun akhirnya ditemukan.
“Ini sesuatu yang luar-biasa,” senang sekali mendengar seorang praktisi cerdas berkomentar seperti itu.