Tadi siang saya mengajar kalkulus untuk mahasiswa STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika) ITB. Secara online, dua kali dalam sepekan. Kali ini materinya adalah bagaimana menghitung volume benda putar menggunakan metode kulit tabung.

Berbeda dengan metode cakram, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai “metode koin” yang diperkenalkan sejak SMA, metode kulit tabung adalah sesuatu yang baru. Perlu proses transisi yang bertahap tapi mantap, sehingga mahasiswa benar-benar memiliki persepsi baru. Mahasiswa harus mampu dan berikutnya terbiasa membayangkan kulit tabung. Itu adalah fondasi sebelum masuk ke prosedur SAI (Slice, Approximate, Integrate).

Matematika adalah tentang pembiasaan logika visual. Imajinasi sebelum pengetahuan. Persepsi sebelum argumentasi. Intuisi sebelum logika. Oleh karena itu, “akhlak terpuji” dalam bermatematika terungkap pada spontanitas berpikir dan berbicara dengan gambar.

Tidak bisa dihindarkan, sewaktu membaca Ayat-Ayat Cerita (AAC), secara spontan atau sadar saya selalu berusaha menemukan atau menciptakan pola visual di balik cerita. Yang terbaru, adalah pola visual yang utuh tentang kurikulum “pesantren kilat” . Gambar sederhana terlampir menjelaskan mengapa tindakan Nabi Khidhir tidak dapat diterima.

Pertama, kecenderungan kita (Homo sapiens) untuk menilai orang lain dengan ukuran kita sendiri. Nabi Musa menganggap Nabi Khidhir sebagai “orang baik”, maka tidak bisa menerima sewaktu sang guru merusak kapal.

Kedua, kecenderungan kita tidak siap menerima perubahan ekstrem. Nabi Musa tidak tahan menyaksikan tindakan Nabi Khidhir yang terlalu jahat untuk ditoleransi, yaitu membunuh anak kecil yang baru ditemu dengan cara sadis.

Ketiga, dua peristiwa cukup untuk membentuk pola. Alamiah, sewaktu Nabi Khidhir tiba-tiba menjadi terlalu baik, Nabi Musa pun tidak siap.

*Ahmad Thoha Faz

KHIDHIR YANG TAK TERPAHAMI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *