“Dia itu gila.”
“Gemblung?”
“Bukan. Gila!”
“Gila bagaimana?”
“Dia jarang masuk sekolah. Kalau masuk sekolah tidur terus. Tetapi kalau ulangan selalu seratus. Apa tidak gila? Lebih gilanya lagi dia keluar ruangan paling awal lagi. Apa tidak bikin jengkel?”
“Wah, mungkin punya khodam. Makanya kalau ditanya suka miring-miring. Dia lagi tanya ke khodamnya, mungkin.”
Ruangan terus bergemuruh. Gelak tawa meledak tiada henti. Tidak sedikit yang terpingkal-pingkal.
Siang itu, 11 Maret 2015, Bapak Ir.Bambang Susanto, yang baru saja kembali menjabat kepala dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Tegal, sukses mendongeng tentang anak buahnya yang nyleneh.
Ya, aku dan Pak Bambang memang sudah kenal lama, sejak beliau menjadi kepala Disperindag periode pertama. Karena kesalahpahaman, aku pernah dimarah-marahi beliau, karena tidak ke kantor. Dan tidak lama kemudian, kurang dari satu bulan, beliau lalu dimutasi ke Badan Narkotika. Seharusnya aku lapor, bahwa aku sedang mengerjakan tugas dari bupati, maka tentulah situasi buruk itu tidak akan terjadi. Tapi itu masa lalu.
Sekarang Pak Bambang Susanto menjadi kepala Dinas Perindag kembali. Banyak kolega PNS menakut-nakuti aku, mungkin dikira mereka aku dengan beliau berseteru. Pertemuan di LIK Takaru siang itu membuktikan bahwa dugaan mereka keliru.
Dengan gayanya yang khas Tegalan, BS sukses mengusir kantuk sekaligus membangun keakraban. Aku tidak mengira akan dijadikan lakon pada pertemuan pengusaha-pemerintah di kompleks LIK TAKARU, Jalan Raya Pantura. Intinya beliau sedang menceritakan kembali obrolan beliau dengan dengan Fajar Mahardika, bos elpiji yang juga temanku satu almamater di SMA 1 Tegal.
Tentu saja itu hanya intermeso. Cerita itu tidak sepenuhnya benar. Tidak beda dengan kisah Lupit-Slentheng yang disampaikan Ki Enthus Susmono ketika menjadi dalang.
Berikut ini adalah fakta yang benar. Aku tidak tidur terus di sekolah. Bahkan lebih banyak melek daripada tidur. Kalau tidur terus tentu aku sudah dikubur.
Tidak pernah berangkat ke sekolah? Itu jelas ngawur. Dibanding absen, lebih banyak aku hadir di kelas. Sebagai contoh yang pernah aku hitung, di kelas 3 SMA aku hanya tidak hadir alias absen selama 51 hari. Hadir di kelas tentu jauh lebih banyak daripada 51 hari.
Selalu mendapat seratus? Tidaklah. Di kelas 3 SMA (sekarang setara dengan kelas 12), selama beberapa bulan, aku malah sempat konsisten mendapat nilai ulangan harian sangat buruk. Bukan hanya sangat buruk, namun boleh jadi paling buruk di seluruh SMA Negeri 1 Tegal. 3 kali ulangan kimia aku mendapat nilai 0, 0 dan 3. Fisika? Malah tidak ada satu pun yang aku kerjakan, karena aku tertidur nyenyak. Bukan meremehkan, melainkan karena aku memang tidak paham sama sekali apa yang ditanyakan.
Hanya kemudian ketika ulangan umum semester nilai total yang aku dapat tertinggi kedua di seluruh SMA 1 Tegal. Tertinggi pertama, sebuah nama yang tiba-tiba muncul dan kemudian tenggelam kembali. Tentu saja untuk mapel ilmu eksakta nilaiku tertinggi di seluruh SMA 1 Tegal dan seluruh Kota Tegal.
Thoha si tukang tidur, yang tidak usah belajar tetapi langsung pintar. “Ladunni,” begitu anggapan banyak orang yang tidak mengetahui masalah sebenarnya.
Sebenarnya tidak demikian. Malah kadang aku tidur di kelas kalau malamnya aku belajar habis-habisan. Tentu juga karena faktor kelelahan mencari pakan sapi dan berjualan susu keliling, pekerjaan rutin sejak aku kelas 3 MI (setingkat SD).
Seperti pada saat pelajaran biologi kelas 2 SMA (sekarang setara kelas 11) yang diajar oleh Pak Daryono Yusuf. Aku tertidur. Itu jelas memancing perhatian sang guru. Meski sudah siap, kaget juga ketika aku tiba-tiba ditunjuk untuk menerangkan kembali penjelasannya. Tentu saja, karena semalam belajar habis-habisan dengan beberapa buku, aku mampu menjelaskannya begitu gamblang.
Tidak pernah mencatat? Ya, pernah-lah. Hanya aku tidak suka mencatat, hanya membuat pikiran terbelenggu dan lambat. Aku lebih suka membuat sketsa. Ini pendapatku: salah satu pemborosan waktu dan pengrusakan nalar secara sistematis adalah melalui kebiasaan memindahkan tulisan.
Seorang Bambang Susanto telah berjasa menjadi mitos atau dongeng itu semakin menyebar, tidak sebatas keluarga besar alumni SMA 1 Tegal. Sungguh suatu kebaikan yang luar biasa bagiku. Tidak perlu diklarifikasi secara serius. Toh juga tidak mungkin menghentikan apa yang telah menyebar-luas di tengah masyarakat. Apalagi masyarakat memang perlu mitos untuk ngobrol di warung kopi, untuk lucu-luan dan memupuk keakraban. Toh itu lebih faktual daripada dongeng Sangkuriang, Joko Tarub atau Malin Kundang.
#TitikBa: segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada.
*Tulisan dimunculkan kembali untuk menepis hoax yang ternyata terus berkembang hingga saat ini. Semoga bermanfaat.