MELAMPAUI TEORI:
CATATAN 10 TAHUN PERJALANAN TITIK BA, 2007-2017
Engkau bukanlah setetes air di lautan.
Engkau adalah segenap lautan dalam setetes air.
Jalaluddin Rumi (1207-1273)
Seorang pembaca bertanya, “Mengapa Titik Ba anda tidak menyebutkan Sunan Kalijaga?”
Begini ceritanya, Sahabat. Sampai naskah lengkap, memang saya tidak terpikir bahwa Titik Ba berkaitan dengan Sunan Kalijaga (diperkirakan lahir sekitar tahun 1450), salah seorang anggota Walisongo yang sangat layak menjadi teladan utama santri Nusantara. Sampai suatu hari di kampus ITB, pada tahun 2006, seorang kawan bergegas datang menghampiri, hanya untuk memperkenalkan dialog tentang titik ba dalam film “Sunan Kalijaga” (1984) berikut ini:
“Misalkan air laut dijadikan tinta, dan daun-daun diseluruh jagat ini dijadikan kertasnya, masih belum cukup untuk menuliskan ilmu Allah, Ki Sanak,” ujar Sunan Bonang.
“Tidak sebanyak itu yang saya mau tuntut. Saya cuma perlu satu titik. Di titik Ba itu, Kanjeng,” balas Raden Mas Syahid yang kelak bergelar Sunan Kalijaga.
Asal-usul istilah dan filosofi Titik Ba sebenarnya lebih jauh lagi, melampaui masa Walisongo, sebuah kelompok penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. Titik Ba telah ada sejak 1.400 tahun lalu! Saya sendiri jatuh cinta sejak perkenalan pertama, melalui Bapak saya, Ustadz Zainuddin, yang merupakan lulusan beberapa pesantren.
Namun, Titik Ba yang ada di hadapan anda ini tidak muncul dari pesantren, melainkan lebih sebagai “ijazah” (bukti intelektual) dari perguruan teknik tertua di Indonesia: Institut Teknologi Bandung (ITB). 3 Maret 2006, tepat sehari sebelum wisuda, ijazah tersebut mendapat pengakuan tertulis dari rektor ITB saat itu, Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso M.Sc. Setahun kemudian, sesudah terbit oleh penerbit Mizan, Mei 2007, sang rektor menganjurkan dan membagikan Titik Ba ke seluruh dekan di lingkungan almamater Bung Karno dan BJ Habibie tersebut.
Tatkala bermalam di kediaman Prof. Ir. Sudarto Notosiswojo, M.Eng, dekan Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM), menjelang peluncuran di Aula Barat ITB, Agustus 2007, saya jumpai Titik Ba di perpustakaan pribadi beliau. Di tengah makan malam bersama, Profesor Sudarto bertanya, “Apa itu Titik Ba?” Saya tidak ingat persis apa jawaban saya waktu itu. Namun, setelah merawat gagasan ini selama sepuluh tahun, inilah jawaban dalam tiga detik: segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada.
Gamblang, inspirasi Titik Ba tidak terlepas ITB, tempat saya dididik sebagai ‘tukang insinyur’, bukan sebagai seorang filsuf atau ilmuwan teoretis. Pekerjaan keteknikan (engineering) adalah menemukan solusi praktis, merancang dan mengelola sebuah perubahan yang terukur; lebih peduli pada kemanfaatan, bukan klaim kebenaran. Karena latar belakangnya demikian, maka ujian utama bagi Titik Ba bukan apakah ia ‘benar’, apakah sesuai dengan yang dimaksud oleh ‘Ali bin Abu Thalib atau Sunan Kalijaga, tapi sebaliknya, apakah ia merupakan gagasan yang solid, terus tumbuh dan bermanfaat nyata?