“Apa yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” tanya Allahu ta’ala kepada nabinya yang dikenal temparemental dan suka ngeyel.
“Ini? Ini adalah tongkatku. Ini adalah tongkat serba guna. Untuk bertumpu, menggiring kambing dan juga keperluan lain.”
“Benar tongkat? Coba lempar.”
Musa pun melemparnya. Tiba-tiba jadilah tongkat itu ular yang merayap. Ternyata Musa tidak mengenali tongkatnya sendiri. Musa ketakutan.
Allahu ta’ala berbisik di hati Musa. “Ambillah, jangan takut. Segera akan kami kembalikan ke keadaan semula.”
Apakah tongkat Musa itu sakti? Apakah Musa merasa dirinya sakti karena diberi kesaktian?
Ternyata Musa tak yakin tongkatnya akan menjadi ular. Hukum sebab-akibat (kausalitas), sama dengan hukum alam lainnya, adalah palsu. Logika “jika tongkat dilempar, maka menjadi ular” hanya tampak oleh pengamat dari luar. Yang benar adalah “jika tongkat dilempar, maka (atas kuasa Allahu ta’ala) bisa menjadi ular atau apa saja.”
Musa tahu dirinya tidak sakti. Maka ketika ditantang oleh sejumlah ahli sihir, “Siapa yang mulai melempar? Kami atau kamu?”, Musa menyahut, “Silakan kalian duluan.”
Tongkat-tongkat yang dilempar itu pun berubah menjadi ular. Musa pun ketakutan. Fa awjasa fi nafsihi khifatan musa.
Adakah yang merasa sakti?
Jika Musa takut dan ragu, kita lebih layak takut dan ragu. Kunci untuk menaklukkan ketakutan adalah mengosongkan diri dari keakuan dan mengisinya dengan nama Allahu ta’ala.
Merasa diri ada, memiliki harta atau kuasa itulah sumber kesombongan, ketakjuban diri, kerakusan pada perhatian manusia, kemalasan, keraguan, kenekadan dsb yang ujungnya adalah kebahagian palsu. Ketika memulai sesuatu dengan ucapan “atas nama Allahu ar-rahman ar-rahim” atau “la haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim” itu merupakan upaya meredam keakuan–menjadikan diri hanya sebagai titik yang “lam yakun syai-an mazkura” (sesuatu yang tidak layak dikenang”. Allahu ta’ala saja yang ada,berkuasa dan layak disebut berulang-ulang. Allahu ‘alam.