“Matematika Detik jangan sampai seperti *******. Dulu ramai sekarang sepi. Matematika Detik sebaiknya seperti matematika, selalu ada.”

Akhirnya ada satu orang yang memahami arah pikiran saya. Senang sekali. Apalagi orang tersebut adalah Muhammad Royhan Asoka Faz Nur, anak kami sendiri, yang kini tepat berusia 14 tahun (21 Juni 2006-2020). Ya, Royhan berulang tahun tepat sama dengan Ki Enthus Susmono, terpaut tepat 40 tahun.

Royhan, yang merupakan akronim dari “royalti tetap bertahan”, lahir pada saat menjelang terbitnya Titik Ba. Berharap keberkahan Titik Ba terus bertahan sampai akhir cerita planet bumi ini. Royhan tentu saja, ini yang serius, terinspirasi kata yang muncul dalam QS.55 (ar-Rahman).

Saat ini Royhan sedang membaca buku Man’s Search for Meaning karya Viktor E Frankl, setelah sebelumnya The Seat of Soul karya Gary Zukav. Itu bacaan saya, yang karena tergeletak di meja atau rak lalu dibaca Royhan.

“Frankl ternyata metode sendiri ya, Abah, namanya Logoterapi,” kata pemilik dan pengelola saluran Youtube Matematika Detik Official.

“Abah juga punya metode sendiri, namanya Titik Ba. Kamu sembuh itu melalui metode Titik Ba.”

Saya mengingatkan Royhan beberapa waktu lalu. Dia selalu gelisah, marah, suka mendebat, dan sebagainya sampai suatu malam kami berdiskusi untuk menyadarkan bahwa segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada.

Saya tidak mungkin membimbing anak saya terus-menerus. Senang sekali bisa berbagi hakikat Titik Ba. Tidak ada ajaran yang lebih dalam lagi itu. Tidak ada lagi yang lebih sederhana.

Sebagaimana terus menyala selama lebih dari 1000 tahun Titik Ba insya Allah tidak akan padam sampai hari kiamat. Titik Ba bukan ide orisinal saya. Saya hanya penganut filosofi Titik Ba.

Bagaimana dengan Matematika Detik?

Yang selalu terpikirkan, Matematika Detik adalah ilmu baru, bukan sekadar merek baru. Matematika Detik adalah cabang ilmu baru. Serupa dengan psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif dan psikologi positif sebagai cabang ilmu psikologi. Serupa ekonomi perilaku dan ekonomi pembangunan sebagai cabang ilmu ekonomi.

Apakah tidak mungkin sebuah cabang ilmu baru terlahir di Indonesia?

Tapi obsesi semacam itu tidak begitu penting. Yang lebih penting, bagaimana Matematika Detik menjadi ilmu sekokoh mungkin dan bermanfaat seluas mungkin. Matematika Detik menjadi matematika sebagai sarana tazkiyatun nafs, dan karena itu seharusnya dapat dipahami seluas-luasnya. Matematika seharusnya menjadi instrumen bagaimana iman seharusnya berbuah inovasi, dan itu berarti tentang bagaimana menyalakan imajinasi.

Semua itu adalah tentang manusia. Senang sekali beberapa sahabat bergabung, turut mengembangkan Matematika Detik. Semua lebih muda dan lebih cerdas daripada saya, terutama di bidang matematika dan fisika.

Secara bertahap dan “organik”, saya mengajak mereka untuk tampil di pelatihan atau seminar Matematika Detik. Kemarin, pada webinar yang berpusat di Medan, Bung Sandy muncul sebagai pemateri pendukung. Sebelumnya, pada Sarasehan Literasi Sekolah (SLS) di Kemendikbud RI, Bintang Alam Semesta naik panggung.

Terima kasih, Mas Billy Antoro, sekretaris Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi penghubung Matematika Detik dengan Kemendikbud RI.

*Ahmad Thoha Faz

ILMU BARU, BUKAN MEREK BARU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *