Ada produk yang dibuat untuk diri sendiri. Contohnya apa? Ya, minuman teh jahe panas yang dibuat dan disuguhkan untuk diri sendiri. Tidak perlu memperkirakan selera orang lain untuk membuatnya. Buat saja.

Tapi kebanyakan produk diciptakan untuk orang banyak, bukan untuk diri sendiri. Kreativitas yang dapat dinikmati dan dihargai orang lain itulah yang disebut inovasi. Inovasi adalah tentang memecahkan masalah masyarakat, bukan tentang memuaskan diri sendiri. Itulah pentingnya pemasaran.

Bagaimana? Tulisan saya sudah layak seperti penyuluh perindustrian, bukan? Selama 8 tahun (2010-2018 saya memang PNS fungsional, sebagai penyuluh perindustrian. Saya sarjana teknik industri, bukan sarjana filsafat atau sarjana matematika.

Matematika Detik jelas dirumuskan untuk memecahkan masalah masyarakat, bukan untuk keasyikan diri sendiri. Sebagai sarjana teknik industri kepekaan dan kepedulian kami adalah pada bagaimana menumbuhkan budaya inovasi di tengah masyarakat, bukan pada bagaimana memudahkan pemahaman matematika. Bagi Matematika Detik, matematika adalah instrumen untuk menumbuhkan budaya inovasi. Jadi fokus kami adalah belajar berpikir melalui matematika, bukan memahami matematika.

Itu bukan obsesi mudah. Menurut Peter F Drucker (1909-2005) bisnis hanya memiliki dua fungsi: inovasi dan marketing (pemasaran). Tapi hampir selama 13 tahun perumusan Matematika Detik (2006-2019), kami hampir tidak memikirkan pemasaran.

Bila kemudian Matematika Detik diterbitkan oleh Aksarra Sinergi Media (Intan Pariwara Group), saya tidak pernah mengajukan penawaran naskah. Tiba-tiba saja ada sms, dari seorang yang mengaku dari Intan Pariwara. Itu akibat Matematika Detik muncul di halaman muka Suara Merdeka, 6 Februari 2015.

Oh ya lupa. Sempat satu kali menawarkan naskah, yaitu sewaktu naskah masih mentah. Ke Mizan Group di Bandung, dan ditolak. Saya masih ingat pada saat itu awal bulan Ramadhan. Saya ke Bandung, bersama Husein Ahmad, yang waktu itu mahasiswa Fakultas Ekonomi UI.

Pada tahun 2018-2019 saya sering keluar daerah mengisi ceramah, seminar atau pelatihan Matematika Detik. Semua itu tanpa kami mengajukan proposal sebelumnya. Semua itu datang tiba-tiba, karena buku Matematika Detik yang mulai tersebar. Tapi ini alasan utama: berkah saya sering menulis tentang Matematika Detik di Facebook.

Memasuki 2020, situasi berubah. Saya sendiri masih berfokus pada penulisan buku. Tiba-tiba datang seorang mengajak kerja sama, hingga kemudian terbentuk PT Matematika Detik Internasional. Senang saja bertemu dengan pihak yang tampaknya antusias dengan Matematika Detik.

Sebelumnya sempat terbentuk PPMD (Pusat Pengembangan Matematika Detik). Sempat aktif di awal, sampai kemudian kehilangan gairah dan arah. Banyak sebab. Tapi, menurut saya, produk yang belum selesai itulah sebab utama.

Sebab lain Matematika Detik seharusnya bervisi nasional dan global, bukan lokal Kabupaten Tegal. Aswian Editri di pulau Lombok dan Jauhari Efendi di Palembang membantu saya membuat sketsa visi nasional. Keluar dari PNS Pemkab Tegal menyempurnakan putusnya jeratan visi lokal.

Ketika membentuk PT MDI, produk hampir selesai dan kemudian selesai. Visi nasional juga terpenuhi, sebab MDI beralamat di Jakarta. Rencana roadshow di sejumlah kota di Indonesia digelar, dimulai dari Depok.

Tiba-tiba wabah Corona merebak. Tepat dimulai di Depok. Rencana MDI pun menjadi kalang-kabut.

Menurut saya, di tengah wabah Corona, inilah saat yang tepat bergerak melesat. Apalagi, ini alasan terpenting, saya tidak lagi tertimbun beban menulis buku. Wabah Corona menghantam penerbit dengan hebat, sehingga hampir dipastikan buku Level B terbit telat. Tidak masa diburu-buru lagi, sehingga muncul banyak waktu senggang.

Matematika Detik sudah mencapai reputasi nasional, dengan dua kali diundang di Kemendikbud RI dan Kemenag RI. Buku seri 1 dan seri 2 juga sudah tersebar di seluruh Gramedia di pulau Jawa, selain ke sekolah-sekolah. Maka ini saat yang tepat untuk menyebar ke seluruh daerah.

Sekarang adalah era gelombang baru (new wave). Demikian istilah dari Hermawan Kartajaya, pakar marketing. Oleh karena itu, sebagai ganti membidik segmen pasar, lebih baik silaturahim ke komunitas.

Resep cespleng. Alhamdulillah, kami dapat saling mengenal dengan komunitas “milik” POSI (Pelatihan Olimpiade Sains Indonesia) yang berpusat di Medan. Baru beberapa jam lalu kami mengadakan webinar, yang insya Allah dilanjutkan dengan webinar lanjutan dan bentuk kerjasama lain yang lebih konkret.

Kami juga kemudian dapat saling mengenal dengan komunitas PCI (Pure Consciousness Indonesia). Seorang anggotanya yang berdomisili di Semarang, Ade Machnun, kemudian menjadi host webinar Matematika Detik dan Titik Ba. Kami semakin saling mengenal.

Ade Machnun, seorang ustadz lulusan Yaman, bersama dengan Jodhy Rachman, lalu membentuk AKDI (Akademi Kesadaran Diri Indonesia) Ibadurrahman. Keduanya lebih muda dari saya. Tentu saja lebih gesit dan berenergi. Senang sekali, AKDI tertarik dengan Matematika Detik.

Ini saatnya. Krisis besar menyediakan peluang besar, bagi yang cepat beradaptasi. Survival for the fittest.

*Ahmad Thoha Faz

KOMUNITAS, BUKAN SEGMEN PASAR: DARI PPMD KE AKDI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *