Pulang dari mengisi pelatihan #MatematikaDetik di Kemdikbud, 6 April 2019, saya dijemput dan diantar oleh Kristian Tarigan ke tempat bus Sinar Jaya. “Kalau tidak dapat bus, nanti KITA antar sampai Tegal,” kata seorang kepala sekolah internasional yang beralih menjadi pendiri dan pemilik bimbel. “Benar-benar bimbingan belajar, bukan bimbingan tes,” ungkap sosok yang sebenarnya baru saya kenal, melalui Gernas Tastaka (Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika).

Bang Kristian menyebut “kita”, karena ada seorang di belakang. Saya lupa namanya, tapi tidak lupa ceritanya. Dia bercerita sampai menangis membaca pendahuluan #MatematikaDetik (MD) seri 1. “Kali ini, anak-anak kami telah menjadi pemimpin kami. Dan kali ini, pemimpin kamilah yang giliran menjajah kami.” Dia sangat menghayati puisi karya Oriza Wahyu Utami itu.

Alhamdulillah, semoga itu tanda bahwa saya tidak gagal memasukkan unsur perasaan ke dalam Matematika Detik. Ya, Matematika Detik adalah tentang perpaduan sastra dan logika, seni dan sains, yang –menurut Walter Isaacson– sebagai kunci tumbuh suburnya inovasi.

Pada buku Matematika Detik seri 2, yaitu Level A “Membaca Angka Secepat Membaca Kata”, saya membukanya dengan penggalan puisi karya sastrawan gemladag, Abu Ma’mur MF. Saya memulai lembar penutup dengan penggalan kalimat magis dari guru sekolah alam dan tokoh roket air Indonesia, Aldino Adry Baskoro.

Tema besar Matematika Detik adalah “sastra dan logika”. Menceraikan sastra dari matematika mungkin kita akan menemukan makhluk-makhluk jenius dengan kemampuan HOT yang bisa melelehkan besi, tapi mereka bukan manusia.

Gambar mungkin berisi: teks
Keterangan foto tidak tersedia.
Gambar mungkin berisi: teks
SAMPAI MENANGIS

8 gagasan untuk “SAMPAI MENANGIS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *