JUJURLAH, KAWAN, DI ANTARA KITA SIAPA YANG SUDAH GILA?

Sudah beberapa minggu saya bertapa. Di depan layar laptop, di tengah buku yang berserakan. Mungkin seandainya Gajah Mada atau Sunan Kalijaga hidup di zaman now, cara tapa mereka serupa. Entahlah.

Waktu serasa berhenti. Seandainya tidak ada rutinitas makan dan mandi, sholat dan celoteh lucu jabang bayi, pertengkaran kedua kakaknya yang tidak pernah kehabisan tema, di hadapan ibunya yang seolah kehabisan cara, bisa-bisa saya menjadi gila. Tapi mungkin saja saya sudah gila. Entahlah.

Pertanyaan Demi Pertanyaan

1994, di kampus SMA Ihsaniyah yang masih sepi, karena saya datang terlalu pagi, atau pulang terlalu malam, saya mulai berani bertanya. Apakah hidup harus dijalani seperti ini? Apakah sepatu harus selalu berkaus kaki? Apakah melangkahkan kaki harus selalu ke depan? Apakah manusia perlu menciptakan Tuhan untuk bisa terus menyalakan harapan? Apakah semua orang bertanya demikian sehingga saya berani-beraninya mengatasnamakan manusia?

Ya, saya sudah memasuki kegilaan waktu itu. Kegilaan yang berupa kecerahan, bukan kegelapan, sehingga saya tidak takut mempertanyakan setiap pertanyaan. Sering saya terpekur sepanjang jalan. Dari losmen yang saya tinggali, terus saya telusuri tepi jalan terbesar di Kota Tegal. Sarung dikalungkan di leher. Bila ada mobil bok lewat, segera saja saya meloncat. Supaya bisa datang ke SMA Ihsaniyah lebih cepat.

Ya, Juli sampai November 1994, saya bukan hanya seorang siswa sekolah swasta, yang setiap hari mendengarkan kisah jatuh cinta. Saya sempat menjadi santri. Saya sempat menjadi kacung losmen di dekat Pasar Pagi. Tentu saja saya berulangkali dimarahi, dimaki-maki, karena lupa memberi tutup pada suguhan teh pagi, atau lupa mengganti sprei.

Gagasan Besar

Adakah situasi psikologis sebaik saat itu? Maka percikan gagasan terbaik dalam hidup saya datang pada waktu itu. Bismillah, saya akan menulis Titik Ba.

Gagasan besar menantang sudut pandang yang berbeda. Yang jungkir-balik, sehingga potensi manusia bisa membuncah pada level terbaik. November 1994, 23 tahun lalu, dengan gejolak perasaan yang terkatakan, saya menyatakan dropout dari SMA Ihsaniyah. Ranking 1 paralel dengan jumlah absensi terbanyak kini akan absen selamanya.

Juli 1994, beberapa bulan sebelumnya, sudah sempat beredar kabar, bahwa Thoha sudah gila. Anak yang diduga frustasi kala mengikuti seleksi SMA Taruna Nusantara, karena keluar ruang ujian jauh lebih cepat dari ribuan siswa lainnya, kini benar-benar gila. Peringkat akademisnya yang tertinggi membuatnya lupa diri.

Saya tidak tahu, apakah orang-orang benar-benar berkata begitu? Ataukah hanya perasaan saya saja.

Saat-saat yang sangat berat saya alami. Tentu jauh lebih berat lagi, hati bapak dan emak. “Kamu harus tetap sekolah, Thoha. Kepala Sekolah siap membuatkan surat pindah. Yang penting kamu harus tetap sekolah, Thoha,” kata bapak terus mengiba. “Tidak, Pak, saya mau belajar sendiri,” kata seorang anak yang kurang ajar, meski sebenarnya tidak kuat juga menatap wajah duka emak, yang hanya sanggup memegangi lengan bapak. Emak tak sanggup berkata apa-apa.

Sebenarnya ada alasan lain mengapa saya dropout. Saya tidak tega, meninggalkan bapak-emak mengurus sapi, kandang dan susunya. Tapi alasan itu tak pernah saya ucapkan, karena hanya akan menambah luka bapak-emak.

Ternyata ada skenario Tuhan yang sedang bekerja. Takdir memudahkan saya menjemput adik perempuan yang terkena tumor sejak dari pesantren di Bumiayu. Selama berbulan-bulan saya menemaninya. Dan tidak sepatah kata pun saya mendengar darinya kata keluhan.

20 April 1995, bagai terlelap dalam tidur panjang, meninggalkan derita di tubuhnya, Siti Lamkhatun menghadap pemiliknya yang sejati. Sepertiga al-Qur’an telah hadir di hatimu, tapi Allahu ta’ala mencukupkan usahamu.

20 April? Segera saya bergegas membuka sejarah kanjeng Nabi. Saya pernah membaca itu tanggal lahir Kanjeng Nabi dan saya ingin memastikannya. Ya Allah, apakah Engkau sedang bermain teka-teki?

Berdiri di dekat liang kubur, saya mendengar kata “Faz” dari lisan sang kyai. Siapapun yang terbebas dari api neraka dan dipersilakan mengetuk pintu surga mereka sungguhlah “faz”. Ya, sudah Januari 1995, saya mendoakan diri sendiri dengan menambahkan nama Faz di belakang nama.

Faz? Ya, prosesi pengukuhan nama saya disaksikan hujan yang begitu deras, sendirian di sebuah masjid di Pare, Kediri. Mungkin banyak malaikat, mungkin juga hantu di sana, tapi saya tidak tahu. 17 Ramadhan, mulailah saya menyebut diri saya Ahmad Thoha Faz. Cakaplah rasanya sebagai penulis Titik Ba.

#TitikBa: segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada.

Jujurlah Kawan, Diantara Kita Siapa Yang Sudah Gila??
Tag pada:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *