Salah satu institusi masyarakat yang nyaris tidak berubah di tengah perubahan yang sedemikian kencang adalah institusi pendidikan. Papan hitam boleh berganti papan putih. Kurikulum boleh terus berganti seiring pergantian menteri. Namun, apa dan bagaimana proses belajar nyaris tidak berubah.
Hari ini saya membaca tulisan seorang pedagang mie ayam cum novelis hebat. Aveus Har, itu namanya yang dapat ditemukan di Facebook. Tulisannya sebagian mewakili pikiran saya, mengungkap pengalaman saya, sehingga lebih baik saya cuplik saja di sini. Sebab, tidak mudah dan selalu perlu waktu untuk menuangkan gagasan.
Berikut ini tulisan yang dimaksud.
“Ini sekadar imajinasi yang lebih menyerupai pikiran buruk di kepala saya yang membayangkan bahwa kelak tidak akan ada lagi sekolah negeri. Tidak ada guru-guru. Tidak ada institusi pendidikan. Negara tidak akan menanggung pendidikan rakyat. Pendidikan dilakukan oleh swasta, dengan sistem daring sehingga berhemat biaya gaji. Guru-guru menjadi pembimbing belajar mandiri, semacam les, dan dibayar oleh peserta les. Akan muncul lembaga-lembaga pembimbing dan persaingannya akan menghasilkan bimbingan berkualitas. Peserta bimbingan akan berlomba mencari bimbingan pendidikan yang paling bonafid, yang prestasinya wow. Tetapi, tentu saja, itu untuk anak-anak orang kaya. Anak-anak orang miskin cukup kembali belajar pada alam, belajar bersama alam.
Saya tidak tahu apa agenda besar dalam masa depan pendidikan indonesia. Saya cuma ngarang-ngarang doang. Tetapi, bukankah terkadang imajinasi menjadi nyata?”
DARI OFFLINE KE ONLINE
Sebenarnya sudah tidak ada alasan bagi sekolah atau kampus konvensional untuk terus hadir dengan bentuknya yang terus serupa sejak zaman Dinosaurus. Belajar melalui Youtube seringkali bukan sekadar lebih baik, melainkan juga jauh lebih murah. Berapa banyak guru matematika yang lebih mumpuni daripada content creator Youtube spesialis matematika?
Di Indonesia kita tahu betapa buruknya kualitas guru. Prihatin, skor buruk di PISA dan sejenisnya tidak membuat kapok. Padahal mendidik guru jelas jauh lebih sulit daripada mendidik mereka yang masih murni.
Covid-19 memaksakan pendidikan untuk menempuh jalur alternatif: PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Sayang sekali pada banyak kasus PJJ tidak lebih daripada basa-basi. Pihak sekolah mengirim tugas. Murid mengirim balik tugas tanpa pernah dikoreksi. Tanpa umpan-balik, pendidikan macam apa?
Apakah balik ke pembelajaran tatap muka lebih baik? Tidak ada alasan kuat di tengah situasi dunia yang sangat dipengaruhi setan gepeng (gawai) dan setan bulat (Covid-19).
Lebih tepat, seperti TOEFL, bebaskan anak untuk belajar dari cara apapun. Belajarlah darimana saja. Apalagi ini adalah era ketika pengetahuan diumbar!
Sekolah sebaiknya sebagai penghasil sertifikat, seperti de facto yang mereka lakukan selama ini. Belajar mengerjakan soal di sekolah, mencari nilai di sekolah. Bukankah begitu?
TOEFL bisa menjadi rujukan. Semua matapelajaran, baik teori maupun praktik, memiliki ukuran penilaian seperti TOEFL. Terpercaya! Sekali lagi, sekolah bisa beralih fungsi sebagai penyedia sertifikat.
Saya membayangkan situasi pendidikan semakin jauh lebih baik. Perbincangan di antara murid atau orangtua tidak lagi bersekolah di mana tapi belajar kepada siapa. Selain menuntut setiap pendidik untuk menjaga kualitas diri, situasi demikian sangat bagus untuk pendidikan karakter. Kita belajar karakter kepada orang, bukan kepada sekolah.
Apa yang saya sampaikan di atas bukan omong-kosong. Saat ini SIE (Sekolah Ilmu Eksakta) meluaskan diri ke online. Juga ke jenjang perguruan tinggi. Kami saat ini mengajar mahasiswa tahun pertama dari STEI-ITB dan D4 Statistika STIS.
Bagi pihak yang lebih percaya “belajar interaktif dengan siapa” tapi terkendala jarak, SIE online dapat menjadi pilihan. Kelebihan SIE online dibandingkan Youtube adalah intertaktif. Tapi lebih daripada itu, SIE menawarkan “berpikir melalui ilmu eksakta” bukan (sekadar) memahami ilmu eksakta.
Sambil bertahap SIE beralih menjadi semacam kejar paket C online yang berhak mengeluarkan sertifikat.
*Ahmad Thoha Faz