Wabah Corona membawa berkah tersendiri. Yaitu mengacaukan rencana, sehingga kita lebih tersadar. Jika semua baik-baik saja, biasa-biasa saja, kita memang cenderung tidak berpikir, tapi membiarkan diri terbawa arus rutinitas.

“Contohnya aku,” meminjam judul lagu gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basofi Sudirman. Jika virus Corona tidak mengambil alih panggung dunia, hampir dipastikan saya masih mengurung diri di kamar. Saya masih berkutat menulis buku Level B “Otak Bukan Kalkulator” agar lekas bisa terbit setelah buku Level A “Membaca Angka Secepat Membaca Kata” telah lulus penilaian di Kemendikbud RI.

Sekarang saya lebih bebas. Meski masih hampir selalu di rumah, saya tidak melulu terintimidasi pekerjaan yang lebih tepat disebut perjuangan: menulis buku. Meski tidak sebanding dengan ketika menulis Titik Ba (2002-2006), merumuskan Matematika Detik jauh lebih berat daripada menyusun skripsi di Teknik Industri ITB.

Ya, latar belakang saya adalah teknik industri, bukan pendidikan matematika, atau matematika MIPA. “Anda salah jurusan,” kata direktur utama Penerbit Intan Pariwara, yang juga kakak angkatan jauh di Teknik Industri ITB.

“Kalau mengambil jurusan matematika, maka saya akan menulis buku tentang matematika, bukan Matematika Detik. Lebih tepat seharusnya filsafat, tapi filsafat tidak mendalami matematika. Jadi lebih tepat adalah teknik industri yang logonya adalah jam pasir. Teknik industri secara lugas menjadikan kesadaran waktu sebagai jantung studinya.”

Matematika Detik bagaimanapun ditulis oleh seorang dengan latar belakang pendidikan teknik industri, bukan matematika maupun pendidikan matematika. Saya sendiri tidak memiliki sertifikat lomba matematika, baik sebagai peserta maupun juara.

Prestasi terbaik saya adalah mendapat tulisan “Walaupun kamu pinter sundul langit, jangan sombong!!!” dari guru matematika. Masalahnya gara-gara saya mengerjakan matematika kurang dari 20 menit, kepanikan massal melanda hampir di seluruh SMA Negeri 1 Tegal. Nilai saya sempurna, tertinggi dan satu-satunya di Kota Tegal.

Tidak ada prestasi yang lebih bagus lagi. Hanya itu. Intinya, saya bukan ahli matematika. Meski saat ini saya mengajar matematika (dan fisika) dari kelas 4 SD sampai persiapan kuliah, saya lebih tertarik pada bagaimana manusia berpikir dan berbahasa daripada mengulik teorema matematika.

Nah, karena ditulis bukan oleh ahli matematika, Matematika Detik memberi sudut pandang yang berbeda. Matematika seharusnya semata ditujukan untuk mengasah ketajaman nalar dan mendukung sains, tapi lebih dari itu: menumbuhkan budaya inovasi. Semua itu dimulai dari intuisi, yaitu kelebatan ide dalam 2 detik pertama.

*Ahmad Thoha Faz

BUDAYA INOVASI, BUKAN MATEMATIKA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *