Ada seorang siswa SMA mengerjakan PR matematika dengan cara yang berbeda. Sang guru tidak mengatakan benar atau salah.
Beliau bertanya, “Cara seperti ini dari mana?”
“Internet. Google.”
Sang guru murka.
Siswa semakin terlatih untuk membebek dan tidak berpikir. Berpikir kreatif adalah berpikir dengan cara berbeda. Itu tidak mudah. Apalagi mendapat disinsentif berupa salah dan marah.
Perhatikan soal nomor 23 pada gambar. Kata sang guru, tidak ada jawabannya. Seperti biasa, cara yang digunakan guru adalah “rumus”. Seisi kelas langsung sami’na wa atha’na (kami mendengar, dan kami taat tanpa tapi).
Padahal itu soal lingkaran. Mengapa tidak digambar saja lingkaran?
Di tengah era internet of things, seharusnya guru tidak perlu bersaing dengan Google. Berkaitan dengan alih pengetahuan, guru tidak ada apa-apanya.
Tidak jarang, sebagai manusia, guru adalah sumber kesalahan dan kesesatan. Itu sangat bagus. Hanya manusia yang bisa salah dan sesat. Dan para penemu dan pelopor kemajuan adalah juara dalam membuat kesalahan.
Jadi, tugas guru adalah mendorong siswa berbuat kesalahan yang tulus secara maksimal. Tentu saja, guru harus menjadi teladan. Guru pun harus terbiasa menyukai dan mengakui kesalahan.
Terkait bagaimana menumbuhkan budaya berpikir dan berinovasi, Google tidak ada apa-apanya. Peran guru tidak ada duanya.
Asyik kan?