Sabtu malam, dijemput di Kawali, Ciamis. Tepatnya di depan alun-alun Surawisesa. Ricky, nama si penjemput duduk di samping supir. Saya sendirian duduk di belakang mereka.
“Jawa itu jaga wibawa. Sunda itu suka bercanda,” celoteh Ricky tiada henti, membahas sejarah Sunda dengan renyah.
Mobil terus melaju kencang menyibak malam.
Kebanyakan jalur yang kami lalui adalah pematang hutan. Gelap sehingga sorot lampu mobil tampak begitu terang.
Tiba-tiba melintas seorang ibu menggendong bayi. Mobil berhenti sejenak. Aku tidak tahu, apakah karena ada orang menyeberang ataukah hal lain. Tidak ada suara dari Ricky atau supir di sampingnya.
“Aneh, ibu menggendong bayi sendirian di tengah kesunyian malam, ” kataku dalam hati.
Sampai di Kampung Kuta, disambut rombongan yang datang lebih awal. Juga hidangan hangat. Setelah sejenak berkenalan, aku mandi, sholat jama’ maghrib-isya dan beristirahat. Aku tinggal di kepala kampung adat, seorang yang kiprahnya diakui Presiden SBY.
Besoknya, aku menjadi pemateri utama, membahas Titik Ba. “Saya masih terkagum-kagum dengan Titik Ba, ” kata Pak Hedy, lulusan Teknik Sipil ITB, yang kini pejabat di Kementerian PUPR. Beliau lalu memaparkan pentingnya kesadaran sejarah supaya sebagai bangsa kita tidak kehilangan identitas.
Ada pemateri lain, seorang tokoh budaya yang lulusan terbaik Arsitektur ITB. Juga ada penasehat budaya Banten yang lulusan S2 tasawuf. Benar-benar membuka hati dan nalar.
Setelah itu menjelajah Kampung Kuta, hingga ke tempat semedi Prabu Siliwangi. Sangat damai. Bunyi air sungai yang membatasi Jawa Barat dan Jawa Tengah menghanyutkan rasa.
Waktu makan, saatnya kembali ke basecamp, di pendopo Kampung. Semua berkumpul, tapi lebih dari satu jam menunggu tak kunjung lengkap. “Mana Pak Hedy?”
Dibantu warga kampung dilakukan pencarian.
Cerita serupa yang aku alami ternyata dialami Pak Hedy. Beliau dan supirnya tersesat menuju perkampungan yang ternyata tidak ada.
Tapi perempuan yang menggendong bayi yang aku lihat boleh jadi itu nyata. Itu realitas. Eh, tapi realitas itu apa ya?