Bermula dengan kegiatan open trip ke Kampung Kuta Adat Ciamis, Desember 2017. Perjalanan unik dengan komunitas unik. Saya baru mengenal sebagian mereka sekitar 5 bulan lalu, dan baru satu kali bertemu muka. Tentu saja saya diundang untuk sedikit berbagi Titik Ba.
Salah seorang peserta adalah Asep Indra Kurniawan, alumnus Teknik Arsitektur ITB. Seusia, tapi kakak angkatan tiga tahun. “Mang Asep Kabayan”, itu namanya di Facebook.
Tidak diduga, tidak lama setelah itu, Mang Asep mengirim artikel keren. Judulnya TENTANG REALITAS DARI SEGALA SESUATU. Penulisnya Agus Hasan Budiyanto, dari Department of Mathematics, College of Mount Saint Vincent, Riverdale, NY, USA.
Bagi saya, sebagian besar artikel tersebut menguatkan dan menjelaskan maksud Titik Ba. Fokus pembahasan berisi analisis tentang realitas, dari level yang paling rendah ke yang paling tinggi, berdasarkan ilmu Fisika, Metamatematika dan The Higher Infinite. Teorema ketidaklengkapan akan memainkan peranan penting dalam pembahasan ini. Sebagai penerapan analisis tersebut, dalam artikel ini akan dibahas penafsiran dari pengalaman mistik Jalaluddin Rumi tentang realitas melalui puisinya yang berjudul “A Garden Beyond Paradise”.
Singkat cerita, saya dan Profesor Agus Hasan saling berteman dengan cara lumrah. Dari Facebook berlanjut ke Facebook Messenger dan WhatsApp.
Diskusi dengan alumnus Fisika ITB ini benar-benar mencerahkan. Ketertarikan saya dengan kosmologi menjadi bangkit lagi. Penjelasan Prof Agus tentang maksud “segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada” benar-benar tertuju langsung ke jantung Titik Ba. Prof Agus menggunakan sudut pandang filsafat, matematika dan logika dengan cara yang tajam sekaligus ringan.
Saya juga menjadi tertarik dengan Georg Cantor dan Kurt Godel, yang ternyata keduanya adalah raksasa intelektual. Cantor di bidang matematika, mungkin salah satu yang terbesar sepanjang sejarah. Spontan saya membandingkannya dengan Karl Friedrich Gauss. Godel, salah satu yang terbesar di bidang logika.
Sangat menyesal terlambat mengenal Cantor dan Godel. Bahkan nama mereka tidak tercantum dalam Titik Ba. Padahal, setelah merenungi kembali diskusi dengan Prof Agus, pemikiran Cantor dan Godel sangat tepat untuk menguak misteri Titik Ba.
Tapi setelah dipikir ulang, saya tidak menyesal. Membaca Cantor dan Godel benar-benar tidak mudah. Dari aromanya sudah terbayang kerumitannya. Saya berharap bahwa Prof Agus yang akan melakukan tugas sejarah ini.
Ramadhan lalu, saya memperkenalkan Titik Ba ke komunitas PCI (Pure Consciousnees Indonesia). Sebelum webinar, saya meminta penilaian Prof Agus. Alhamdulillah, sesuai dugaan, matematikawan kelahiran Pare Kediri ini 100 persen setuju.
Awal Agustus lalu saya mendapat kiriman Titik Ba yang tersisa. Hanya ada empat, sehingga saya berdoa semoga menjadi Titik Ba dimiliki oleh orang yang tepat.
Saya ungguh foto di Facebook, tanpa menceritakan doa apalagi penawaran. Tentu saja. Tidak terduga Prof Agus Hasan berminat.