Sebenarnya di Terminal Cirebon, sempat ragu-ragu aku melanjutkan perjalanan ke Kampung Kuta, Ciamis. Mual-mual, aku turun dari bus, untuk mencari minuman hangat atau Freshcare.
Apalagi mereka yang mengundangku adalah orang-orang asing. Baru satu kali bertemu. Dan aku datang seorang diri.
Hanya satu yang membulatkan tekadku: Titik Ba. Ya, mereka sangat antusias dengan Titik Ba. Dan, menyertai buku Matematika Detik seri ke-1 dan ke-2, aku berharap Titik Ba naik kembali ke panggung. Apalagi, 2018 nanti usiaku genap 40 tahun. Apalagi 2018 akan berlangsung PILKADA dan, bismillah, aku sangat serius bahwa “gagasan tidak boleh kalah oleh coblosan”.
Maka, dengan motivasi dari Pak Arif Budi Utomo, direktur utama Hiratha Corporation, aku melanjutkan jalan.
Di luar dugaan, aku merasakan suasana kekeluargaan dan keakraban yang luar-biasa. Mungkin itulah sebabnya aku begitu lancar menguraikan apa itu Titik Ba di depan audiens yang ternyata bukan orang-orang sembarangan.
Ternyata itu hanya awal. Bola bergulir semakin kencang. Hiratha menawarkan diri menjadi event organizer (EO) Titik Ba dan turunannya. Dan aku semakin tersedot ke Titik Ba, setelah dimasukkan ke group WA yang serius mengotak-atik simbol. Mereka mendiskusikan Titik Ba sangat intens. Terutama seorang fisikawan yang kini tinggal di Australia.
Awalnya, skeptis dan pusing, tapi perlahan merasakan ada keretakan pada tempurung pemahamanku terhadap realitas.
Tidak hanya itu. “Kang, Titik Ba ada e-book-nya? Seorang kawan di Amerika tertarik untuk membacanya,” kata Mang Asep Kabayan, https://kampungbuhun.wordpress.com/author/balongkabayan/.
Ternyata seorang kawan yang dimaksud adalah seorang profesor matematika di New York, Amerika Serikat. Beliau mengirim untukku sebuah artikel kelas tinggi yang membuat kepalaku semakin “nyut-nyut”. Namu, aku tidak kuasa tidak membacanya: isi artikel tersebut benar-benar semakin menjernihkan dan menajamkan Titik Ba.
Sebenarnya, selama ini sempat terpikir aku hendak “melarikan diri” dari wacana filosofis semacam itu. Aku lebih suka mengurus yang praktis-praktis saja: Matematika Detik. Tapi, semesta seolah menjebakku untuk terus memperhatikan Titik Ba.
Wallahu a’lam.