#TitikBa (edisi pertama) memang terbit sejak 2007. Namun itu seolah terbit untuk diri sendiri. Baru setelah saya berusia 40 tahun, saya merasa Titik Ba dipahami.

Sejak kali pertama terbit, beberapa kali saya mengisi materi Titik Ba. Tapi setelahnya saya merasa menyesal. Saya merasakan audiens tidak menangkap apa yang saya sampaikan. Saya gagal membuat audiens menangkap apa garis besar dan manfaatnya. Bahkan saya pernah merasa benar-benar malu setelah ceramah. Kapok.

Saya tidak mau bicara Titik Ba, kecuali diskusi dengan satu atau segelintir kawan. Saya sadar, atau menduga-duga, bahwa saya belum diizinkan untuk bicara. Saya lebih fokus pada #MatematikaDetik.

Sampai tiba-tiba, pada usia 40 tahun saya ‘dipaksa’ bicara Titik Ba di Kampung Kuta Adat, Ciamis. Apalagi setelah ‘dipecat’ dari PNS. Tidak ada pilihan lain, saya mulai berbicara. Mulai saya menikmati bicara Titik Ba, apalagi audiens puas.

Hari ini, saya mengisi materi ‘Relasi HAM dengan Islam: Perspektif Titik Ba’. Hanya dua jam, apa yang hendak disampaikan?
1. Apa itu Titik Ba?
2. Siapa itu manusia?
3. Bagaimana dampaknya (jika menggunakan perspektif Titik Ba untuk melihat manusia)?

Alhamdulillah, audiens antusias dan puas. Satu kalimat terindah yang saya dengar hari ini adalah bahwa Titik Ba itu genuine, berbeda dengan neo-platonis.

Saya bisa mengatakan hal itu. Saya memang terus mengatakan hal itu kepada diri sendiri. Namun, kalimat itu beda bobotnya jika diucapkan oleh orang lain, apalagi dari seorang mahasiswa S3 STF Driyarkara.

Gambar mungkin berisi: 10 orang, orang duduk
Gambar mungkin berisi: 5 orang, termasuk Kakang Barok, orang berdiri
Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan orang berdiri
TIBA SAATNYA BICARA

9 gagasan untuk “TIBA SAATNYA BICARA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *