Ternyata durasi penyampaian materi tepat 01:00:00. Ketepatan yang tidak terduga. Wow! Tentu saya tidak melihat jam, hanya mengikuti kata hati kapan mengakhiri. Bagaimana bisa setepat itu? Tidak tahu.

“Matematika sebagai sarana tazkiyatun nafs” itu materi yang saya sampaikan pada webinar kemarin. Acara diselenggarakan oleh Akademi Kesadaran Diri Indonesia (AKDI) yang berpusat di Semarang, Jawa Tengah.

Senang sekali, Matematika Detik mulai banyak dipahami. Atau setidaknya diberi kesempatan untuk dipahami. Sampai saat ini terhitung 5 (lima) webinar telah diselenggarakan: 1 (satu) oleh PT MDI berpusat di Jakarta, 1 (tiga) oleh komunitas PCI (Pure Consciousness Indonesia), 2 (dua) oleh AKDI (Akademi Kesadaran Diri Indonesia) yang berpusat di Semarang, dan 2 (dua) oleh POSI (Pelatihan Olimpiade Sains Indonesia).

Salah satu yang mengerikan adalah jika Matematika Detik dipersepsikan sama saja dengan matematika yang biasa kita kenal. Tidak ada perbedaan substansial. Matematika Detik sekadar merek baru, bukan sesuatu yang benar-benar menawarkan sudut pandang baru atau paradigma yang berbeda. Nama atau istilah Matematika Detik hanya sekadar marketing gimmick.

Mengapa mengerikan? Sebab, ini tinjauan marketing, itu berarti Matematika Detik tidak memiliki posisi yang kokoh dan unik di benak masyarakat.

Tulisan di Facebook atau di sini hanya memberi pengenalan sekilas dan dangkal tentang Matematika Detik. Webinar menindaklanjuti dengan klarifikasi yang lebih baik: jujur, terus terang, terbuka dan ini yang tidak kalah penting: berbasis data dan rujukan terpercaya.

Salah satu rujukan terpercaya Matematika Detik adalah Thinking, Fast and Slow (2011) karya Daniel Kahneman. Sebenarnya banyak sekali buku psikologi kognitif yang membahas tema demikian, terutama tentang berpikir cepat (intuisi), tapi karya Kahneman adalah lebih utuh.

Apakah Matematika Detik dirumuskan karena terinspirasi temuan di bidang psikologi tersebut? Tidak. Peran intuisi sebelum nalar telah secara lugas diungkap dalam buku Titik Ba. Karya Daniel Kahneman, Daniel Goleman, Gary Klein, Malcolm Gladwell, dan banyak lainnya adalah informasi yang menguatkan dan menjabarkan intuisi yang telah tertanam kuat di dalam diri saya, bahwa berpikir cepat selalu lebih cepat daripada berpikir lambat.

*Ahmad Thoha Faz

KATEGORI BARU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *