“Tidak,” kata Richard Dawkins. Kaum Atheis merasa tidak perlu mempostulatkan eksistensi Tuhan. Apapun tentang alam semesta dapat dijelaskan dengan mengacu pada alam itu sendiri. Postulat atau hipotesis tentang Tuhan adalah sebentuk kemubaziran.
Sebaliknya, sebagai bagian kaum theis, saya mempostulatkan keberadaan Tuhan.
Sebagai konsekuensi “beriman” kepada Tuhan, menjadikan eksistensi Tuhan sebagai fondasi kesadaran, saya memulai perumusan Metode aRTi (MRT) dengan “atas nama Allah”. Saya berusaha sebaik- baiknya, melalui proses yang sangat panjang, yang menggelisahkan seorang istri yang begitu sering ditinggal begadang hingga berbulan-bulan.
Buku Matematika Detik Seri 1 mencatat hasil proses yang layak disebut kegilaan tersebut. Waktu itu saya tercatat sebagai konsultan di Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina. Mungkin hanya Mas Tom (almarhum Utomo Dananjaya) yang memahami apa yang sedang saya kerjakan waktu itu.
Bertahun-tahun saya tidak membahas MRT lagi. Sampai kemudian datang seorang mantan kapten pada perusahaan pengeboran minyak, yang merupakan pendiri sekolah yang terobsesi dengan mutu, datang ke PI.E. Dengan sangat lancar beliau menjelaskan tentang MRT, meski baru level pendahuluan.
“MRT hanya dapat diterapkan apabila fokus pada bagaimana belajar berpikir melalui matematika, bukan memahami matematika.”
Saya telah mempostulatkan eksistensi Tuhan. Kejadian itu, ketika mulai ada seorang yang tergerak oleh MRT, pastilah atas kehendak-Nya.
