فَكُّ رَقَبَةٍ
QS.90 (Al-Balad):13

Tidak lama lagi, semoga dalam bulan Agustus 2020 ini, satu eksemplar #TitikBa terbang ke pusat peradaban dunia: New York, Amerika Serikat. Badan saya tidak pernah ke sana, tapi semoga pikiran saya segera. Jadilah satu buku senilai hampir 2 juta rupiah.

Ingatan saya segera memunculkan wajah Profesor Harsono Taroepratjeka, salah seorang pendiri keilmuan teknik industri di Indonesia. Antusiasme beliau menjadi jalan bagi Titik Ba, hingga kemudian terbit dan tersebar di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, beliau membeli satu dus Titik Ba yang kemudian dibagikan oleh rektor ITB ke seluruh dekan. Tidak banyak, kalau ada, karya seorang mahasiswa S1 yang mendapat kehormatan setinggi itu. Alhamdulillah (hanya Allahu ta’ala yang layak mendapat pujian).

Antusiasme serupa datang dari seorang yang bukan profesor. Bahkan sarjana pun tidak sampai. Yaitu, Mas Tom (Utomo Dananjaya), yang bersama Cak Nur (Profesor Nurcholish Madjid), mendirikan Universitas Paramadina.

Titik Ba adalah milik umat Islam. Bahkan, Titik Ba adalah warisan dunia. Selama lebih dari 1000 tahun Titik Ba terus dikagumi dan menginspirasi.

Saya hanya sebutir debu yang berharap menempel pada berlian gagasan yang menjadi puncak spiritualitas dan intelektualitas tersebut. Detail-operasional bagaimana? Pertanyaan yang terinspirasi sosok Mas Tom itulah yang membuat saya bertahan dalam kegilaan ini.

“Apapun yang terjadi, bismillah saya akan berjuang membumikan Titik Ba,” tegas saya di sebuah ruangan bersama wakil bupati Tegal dan sejumlah pejabat pada suatu saat.

“Wong edan,” terdengar suara lirih. Tapi karena suana hening suara itu terdengar nyaring, bahkan hingga di sini. Komentar wajar.

November 1994, saya memutuskan untuk dropout dari SMA Ihsaniyyah. Sebagai remaja saya galau, ada ketidakjujuran besar yang ditanamkan melalui pendidikan. Bahkan saya curiga, bahwa pendidikan formal adalah sebentuk pembohongan dan pembodohan massal.

Maklum, seorang remaja.

Ternyata tidak mudah lepas dari masa lalu. Apalagi filosofi Titik Ba semakin sakti dan nyata. Pengalaman, kerumitan di atas kertas maupun di pentas dunia, begitu terang-benderang disinari kesadaran bahwa segalanya satu, utuh tak terbagi dan sejatinya tidak ada.

Apalah saya. Terasing, saya menjadi peneliti bebas. Tentu saja tanpa pengakuan dan tanpa pendanaan. Tapi jangan ragukan semangat dan konsistensi kami selama belasan tahun.

Bagaimana pun Titik Ba insya Allah memancarkan sinar lain dengan sentuhan profesor-profesor. Lebih rapi. Lebih kokoh. Dan ini yang terpenting: lebih bermanfaat. Yaitu, bermanfaat turut membantu membebaskan manusia dari kecanduan atau kemelekatan pada ilusi. Juga dari ketakutan mengacu pada kepastian. Singkatnya membantu kita terbebas dari perbudakan.

*Ahmad Thoha Faz

PROFESOR PROFESOR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *