“Jika ruas kiri di-log-kan, maka ruas kanan diapakan?”

Hening sesaat. Seisi ruangan tidak seorang pun yang berani bersuara. Tidak lama kemudian Hardika, sang juara umum di SMA Negeri 1 Tegal, sekolah paling favorit di Kota Tegal, menjawab, “Antilog.”

Hardika tidak sendirian. Arus utama pola pikir siswa memang seperti itu, padahal memahami keseimbangan adalah hal yang terpenting, dan sekaligus hal yang paling sederhana.

Bagaimana pola pikir konyol seperti itu terbentuk?

Pindah ruas! Tambah (+), jika pindah ruas maka menjadi kurang (-). Kali (x), pindah ruas menjadi bagiĀ ). Aturan aneh semacam itu terus dikuatkan sepanjang proses pembelajaran.

“Iya, saya juga bingung. Kok bisa (ada aturan) seperti itu ya?” kata seorang calon magister teknik dari perguruan teknik terkemuka.

Kebingungan semacam itu tidak akan muncul apabila cerita dan logika di baliknya tidak diabaikan. Sebaiknya kita tidak buru-buru menghafal aturan pindah ruas “jika x maka y” sampai kesederhanaan cara kerja neraca (lihat gambar) ditangkap sejelas mungkin.

Wallahu a’lam.

Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia.
‘PINDAH RUAS’ MERUSAK KEJERNIHAN NALAR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *