anak-anak adalah keriangan yang tak terbelenggu oleh almanak,
tak sendu oleh debu masa lalu,
tak gemetar pada denyar masa depan,
larut hanya pada detik arloji yang tengah berdetak,
menikmati tarian semesta sepenuh sukma
bagi mereka, tangis adalah semata bermain-bermain dengan gericik airmata,
selepasnya tak ada genangan kepedihan yang layak dikenang,
dan tertawa bagi mereka adalah hidup sepenuh gairah, membuncah renyah begitu saja
adakalanya kita, orang-orang dewasa, perlu sesekali berguru
kepada anak-anak tentang kesederhanaan yang memerdekakan
sayang, begitu banyak benih yang mulai tumbuh
justru dibonsai, dilukai, dibantai sampai benar-benar lumpuh

(Dikutip dari Abu Ma’mur MF, “Sedemikian Berkaratkah Akar-Akar Cinta?”, riaurealita.com, 20 September 2016)

Laporan dari Bank Dunia baru-baru ini (16/10/2017) sangat menyedihkan tapi tidak terlalu mengejutkan. Jika sistem dan praktik pendidikan masih sama, Indonesia perlu waktu yang sangat lama untuk bisa mengejar ketertinggalan di bidang kemampuan membaca (45 tahun) dan sains (75 tahun). “Indonesia harus betul-betul melakukan reformasi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyampaikan laporan tersebut di Kantor Pusat Bank Dunia, Washington, Amerika Serikat.

Pertanyaan bagi kita semua, reformasi pendidikan yang bagaimana? Apapun bentuk dan rinciannya, rumus sederhana ini berlaku: Sebuah hasil yang berbeda menuntut proses yang berbeda; proses yang berbeda menuntut sudut pandang yang berbeda. Masalahnya, tidak mudah untuk bisa melepaskan diri dari pola pikir yang membentuk kebiasaan kita saat ini. Ibaratnya, dinosaurus hanya akan melahirkan dinosaurus baru. Mungkin akan lebih baik, lebih kuat dan sehat, tapi tetap saja ia seekor dinosaurus yang tak akan sanggup mengikuti perkembangan zaman.

Buku Matematika Detik (MD) seri ke-1 “Inspirasi, Fondasi dan Garis Besar” telah kita diskusikan mengapa dan bagaimana cara kita melepaskan diri dari pola pikir dinosaurus. Seterusnya buku ini, Level A menyarankan dan mengarahkan tahapan Matematika Detik (MD) secara lengkap, sistematis, terperinci dan praktis: mengapa dan bagaimana membaca angka secepat membaca kata sehingga setiap anak Indonesia terbebas dari ‘gagap hitung’.

Matematika Detik (MD) Level A, yakni kandungan buku ini, ditujukan kepada anak SD kelas 4, 5, 6 yang di sekolahnya telah belajar bagaimana melakukan operasi Tambah-Kurang-Kali-Bagi (TKKB). Level A terutama tidak dimaksudkan supaya mereka bisa berhitung, sesuatu yang sudah lazim dilakukan di sekolah. Sebaliknya, Level A dirancang untuk memastikan—melalui proses diagnosis dan terapi —bahwa mereka dapat melakukan perhitungan dasar secara cepat dan spontan (intuitif). Sebagai catatan, perhitungan rumit, seperti 62×36, dengan hasil eksak tidak menjadi fokus Level A, bahkan hal semacam itu di luar cakupan Matematika Detik.

Bagi pengamat yang tidak cermat, atau berasal dari keluarga terdidik, ‘gagap hitung’ mungkin jauh dari kisah pendidikan anda maupun anak-anak anda. Bersyukurlah, karena sebagian besar tidak demikian: mereka tidak secara alamiah menyukai angka. Entah apa sebabnya, olah angka telah membuat “begitu banyak benih yang mulai tumbuh justru dibonsai, dilukai, dibantai sampai benar-benar lumpuh”.

Tema besar Matematika Detik adalah tentang berpikir, sehingga Level A sejatinya bukan tentang berhitung cepat melainkan tentang berpikir cepat. Jadi, walaupun anak-anak penderita gagap hitung adalah pengambil manfaat yang terbesar, insya Allah siapapun anda—termasuk kalangan lanjut usia—akan mengambil manfaat besar dengan menerapkan “baca angka secepat baca kata”. Mengapa dan bagaimana, semua tersaji lengkap di sini. Selamat menikmati. Selamat menjadi instruktur Matematika Detik Level A, di mana pun anda berada.

Tegal Jepangnya Indonesia, 10 November 2017

Seperti halnya Oriza W Utami (pendiri komunitas sastra UNDIP “Aksara”), Abu Ma’mur MF termasuk tim PPMD (Perhimpunan Pengembangan Matematika Detik), serta pecandu kopi dan buku. Sejumlah puisi dimuat dalam: Antologi Puisi 107 Penyair Indonesia dan Malaysia (Lesbumi, 2012), Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi (LovRinz Publishing, 2016), Seratus Puisi Qurani (Parmusi, 2016), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid V (Penebar Media, Yogyakarta, 2016), Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat, 2016), Yogya dalam Nafasku (Balai Bahasa DIY, 2016), Kumpulan Puisi Kopi 1.550 MDPL (The Gayo Institute, Aceh, 2016) Antologi Puisi dari Negeri Poci 7 (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2017). Meraih juara pertama lomba baca puisi tingkat Provinsi Jawa Tengah (2008) dan juara pertama lomba cipta puisi tingkat nasional (2016).

Foto Matematika Detik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *